Selasa, 08 September 2009

BILAMANA ABORSI MENJADI PILIHAN INSTAN…

Pasangan yang menikah tentu mengharapkan anak dari hasil perkawinannya. Hal ini merupakan fitrah manusia untuk melangsungkan keturunan/marga/klan. Akan tetapi anak hasil perkawinan diluar nikah? Hal tersebut sangat dihindari oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Karena di negara kita, anak diluar nikah merupakan sebuah aib yang harus dihindari. Begitu ampuhnya norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat Indonesia. Ironisnya, menginjak awal tahun 90-an sampai sekarang, nilai-nilai dan norma-norma itupun sudah tidak mempan bagi masyarakat. Banyak terjadi kasus hamil diluar nikah, dan ironisnya lagi banyak terjadi pada kaum remaja kita, dan akhirnya aborsi menjadi satu-satunya solusi yang mereka pilih. Setiap tahunnya di Indonesia, berjuta-juta perempuan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian besar dari perempuan tersebut memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka, walaupun dalam kenyataanya aborsi secara umum adalah illegal. Seperti di negara-negara berkembang lainnya dimana terdapat stigma dan pembatasan yang ketat terhadap aborsi, perempuan Indonesia sering kali mencari bantuan untuk aborsi melalui tenaga-tenaga non medis yang menggunakan cara-cara, antara lain dengan meminum ramuan-ramuan yang berbahaya dan melakukan pemijatan untuk pengguguran kandungan yang membahayakan.

Walaupun bukti-bukti yang dapat dipercaya tidak tersedia, para peneliti memperkirakan bahwa setiap tahunnya sekitar dua juta aborsi yang diinduksi terjadi di Indonesia dan di Asia Tenggara kematian yang disebabkan karena aborsi yang tidak aman adalah sebesar 14-16% dari semua kematian maternal. Upaya pencegahan terjadinya aborsi yang tidak aman adalah sangat penting bila Indonesia ingin mencapai tujuan ke lima dari Millennium Development Goal untuk memperbaiki kondisi kesehatan ibu dan menurunkan kematian maternal. Di Indonesia saat ini hukum tentang aborsi didasarkan pada hukum kesehatan tahun 1992. Walaupun bahasa yang digunakan untuk aborsi adalah samar-samar, secara umum hukum tersebut mengizinkan aborsi bila perempuan yang akan melakukan aborsi mempunyai surat dokter yang mengatakan ahwa kehamilannya membahayakan kehidupannya, surat dari suami atau anggota keluarga yang mengijinkan penguguran kandungannya, test laboratorium yang menyatakan perempuan tersebut positif dan pernyataan yang menjamin bahwa setelah melakukan aborsi perempuan tersebut akan menggunakan kontrasepsi.

Pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan bahwa sekitar dua juta aborsi terjadi.1 Angka ini dihasilkan dari penelitian yang dilakukan berdasarkan sampel yang diambil dari fasilitas-fasilitas kesehatan di 6 wilayah, dan juga termasuk jumlah aborsi spontan yang tidak diketahui jumlahnya walaupun dalam hal ini diperkirakan jumlahnya kecil. Walaupun demikian, estimasi aborsi dari penelitian tersebut adalah estimasi yang paling komprehensif yang terdapat di Indonesia sampai saat ini. Estimasi aborsi berdasarkan penelitian ini adalah angka tahunan aborsi sebesar 37 aborsi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Perkiraan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia: dalam skala regional sekitar 29 aborsi terjadi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduksi. Sementara tingkat aborsi yang diinduksi tidak begitu jelas, namun terdapat bukti bahwa dari 4.5 juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia pada waktu sekitar waktu penelitian tersebut dilakukan, 760,000 (17%) dari kelahiran yang terjadi adalah kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan.

DEFINISI ABORSI

Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:

1. Aborsi Spontan/Alamiah

2. Aborsi Buatan/Sengaja

3. Aborsi Terapeutik/Medis

Aborsi spontan/alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, sedangkan Aborsi buatan/sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Aborsi terapeutik/medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

ALASAN ABORSI

Aborsi dilakukan oleh seorang wanita hamil - baik yang telah menikah maupun yang belum menikah dengan berbagai alasan. Akan tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan yang non-medis (termasuk jenis aborsi buatan/sengaja)

Di Amerika, alasan-alasan dilakukannya aborsi adalah:
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir mengganggu karir, sekolah atau tanggung jawab lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)

Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.

Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada didalam kandungannya adalah boleh dan benar, semua alasan-alasan ini tidak berdasar. Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidakpedulian seorang wanita yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.

Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius.

Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri – termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu atau gengsi.

PELAKU ABORSI

Profil pelaku aborsi di Indonesia tidak sama persis dengan di Amerika. Akan tetapi gambaran dibawah ini memberikan kita bahan untuk dipertimbangkan. Seperti tertulis dalam buku “Facts of Life” oleh Brian Clowes, Phd :

Para wanita pelaku aborsi adalah:

Wanita Muda
Lebih dari separuh atau 57% wanita pelaku aborsi, adalah mereka yang berusia dibawah 25 tahun. Bahkan 24% dari mereka adalah wanita remaja berusia dibawah 19 tahun.

Usia

Jumlah

%

Dibawah 15 tahun

14.200

0.9%

15-17 tahun

154.500

9.9%

18-19 tahun

224.000

14.4%

20-24 tahun

527.700

33.9%

25-29 tahun

334.900

21.5%

30-34 tahun

188.500

12.1%

35-39 tahun

90.400

5.8%

40 tahun keatas

23.800

1.5%


Belum Menikah

Jika terjadi kehamilan diluar nikah, 82% wanita di Amerika akan melakukan aborsi. Jadi, para wanita muda yang hamil diluar nikah, cenderung dengan mudah akan memilih membunuh anaknya sendiri.

Untuk di Indonesia, jumlah ini tentunya lebih besar, karena didalam adat Timur, kehamilan diluar nikah adalah merupakan aib, dan merupakan suatu tragedi yang sangat tidak bisa diterima masyarakat maupun lingkungan keluarga.

Waktu Aborsi

Proses aborsi dilakukan pada berbagai tahap kehamilan. Menurut data statistik yang ada di Amerika, aborsi dilakukan dengan frekuensi yang tinggi pada berbagai usia janin.

Usia Janin

Kasus Aborsi

13-15 minggu

90.000 kasus

16-20 minggu

60.000 kasus

21-26 minggu

15.000 kasus

Setelah 26 minggu

600 kasus

TINDAKAN ABORSI

Ada 2 macam tindakan aborsi, yaitu:
1. Aborsi dilakukan sendiri
2. Aborsi dilakukan orang lain

Aborsi dilakukan sendiri
Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin.

Aborsi dilakukan orang lain
Orang lain disini bisa seorang dokter, bidan atau dukun beranak. Cara-cara yang digunakan juga beragam. Aborsi yang dilakukan seorang dokter atau bidan pada umumnya dilakukan dalam 5 tahapan, yaitu:
1. Bayi dibunuh dengan cara ditusuk atau diremukkan didalam kandungan
2. Bayi dipotong-potong tubuhnya agar mudah dikeluarkan
3. Potongan bayi dikeluarkan satu persatu dari kandungan
4. Potongan-potongan disusun kembali untuk memastikan lengkap dan tidak tersisa
5. Potongan-potongan bayi kemudian dibuang ke tempat sampah / sungai, dikubur di tanah kosong, atau dibakar di tungku

(1)

(2)


Sedangkan seorang dukun beranak biasanya melaksanakan aborsi dengan cara memberi ramuan obat pada calon ibu dan mengurut perut calon ibu untuk mengeluarkan secara paksa janin dalam kandungannya. Hal ini sangat berbahaya, sebab pengurutan belum tentu membuahkan hasil yang diinginkan dan kemungkinan malah membawa cacat bagi janin dan trauma hebat bagi calon ibu.
Statistik Aborsi di Indonesia.

Frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan, kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di Rumah Sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu.

A. SUDUT PANDANG KESEHATAN

Resiko aborsi

Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia “tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang”.
Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi.

Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:
1. Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik
2. Resiko gangguan psikologis

Resiko kesehatan dan keselamatan fisik

Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:

1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat
2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya
6. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
7. Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
8. Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
9. Kanker hati (Liver Cancer)
10. Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)

Resiko kesehatan mental

Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994).

Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini:
1. Kehilangan harga diri (82%)
2. Berteriak-teriak histeris (51%)
3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
4. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)

Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.

Selain dari sudut pandang kesehatan aborsi juga memiliki versi tersendiri dari sudut pandang hukum dan agama

B. SUDUT PANDANG HUKUM

Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 1 April 2000
menyatakan adanya terjadinya kontradiksi dari isi Undang-undang No. 23/1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut.
"Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya* dapat dilakukan tindakan medis tertentu**."
Hal yang dapat dijelaskan dari isi Undang-undang tersebut adalah:

*) kalimat untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya merupakan pernyataan cacat hukum karena kalimat
tersebut sepertinya menjelaskan bahwa pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya. Padahal, pengguguran kandungan tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, malah
sebaliknya.
**) penjelasan Pasal 15: "Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena
bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan aborsi rentan di mata hukum.

C. SUDUT PANDANG AGAMA

Ada berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat bahwa aborsi yang dilakukan
sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian lagi berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolok ukur
boleh-tidaknya aborsi dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan ruhnya yang berarti belum bernyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan kandungan ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi diperbolehkan. Bahkan bisa menjadi wajib jika memang tidak ada alternatif lain selain aborsi. Dengan demikian, apabila dari sudut pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alasan kuat seperti indikasi medis, maka sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.

SEKS REMAJA DAN ABORSI

Aborsi pun akhirnya menjadi buah simalakama di Indonesia.Di sisi lain aborsi dengan alasan non medik dilarang dengan keras di Indonesia tapi di sisi lainnya aborsi ilegal meningkatkan resiko kematian akibat kurangnya fasilitas dan prasarana medis , bahkan aborsi ilegal sebagian besarnya dilakukan dengan cara tradisonal yang semakin meningkatkan resiko tersebut.

Angka kematian akibat aborsi mencapai sekitar 11 % dari angka kematian ibu hamil dan melahirkan, yang di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran hidup, sebuah angka yang cukup tinggi bahkan untuk ukuran Asia maupun dunia.

Tapi ada satu hal yang perlu di garis bawahi mengenai hal ini.Angka kematian akibat aborsi itu adalah angka resmi dari pemerintah, sementara aborsi yang dilakukan remaja karena sebagian besarnya adalah aborsi ilegal. Praktek aborsi yang dilakukan remaja sebagaimana dilaporkan oleh sebuah media terbitan tanah air diperkirakan mencapai 5 juta kasus per tahun, sebuah jumlah yang sangat fantastis bahkan untuk ukuran dunia sekalipun.Dan karena ilegal aborsi yang dilakukan remaja ini sangat beresiko berakhir dengan kematian.


Pro Live v.s Pro Choise

Pada tahun 1996 terjadi peristiwa yang mengejutkan publik Amerika , Paul Hill seorang mantan pendeta Presbyterian menyerang klinik aborsi Ladies Center di Pensacola, Florida dan menembak mati dua orang dokter dan seorang perawat serta melukai beberapa orang lainnya.

Peristiwa tersebut menandai titik ekstrim dari peseteruan kelompok pro live dan pro choise di Amerika Serikat. Isu aborsi yang terbagi dalam kedua mazhab besar ini bisa menyebabkan seorang politisi di Amerika Serikat naik atau terdepak dari kursinya. Perdebatan antara kedua kutub ini mulai terjadi ketika aborsi dilegalkan di Amerika Serikat pada tahun 1973.

Pro Live berargumen bahwa setiap manusia termasuk yang belum lahir memiliki hak untuk hidup, dan hak seseorang untuk hidup merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia universal, sementara kelompok pro choise beranggapan bahwa seorang perempuan
berhak menentukan pilihan atas tubuhnya, dan hak menentukan pilihan adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi.

Kubu pro choise semakin menguat bukan saja di Amerika melainkan juga di dunia pada masa Bill Clinton berkuasa. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat pada waktu itu menguntungkan kubu pro choise diantaranya pengucuran dana pemerintah kepada klinik-klinik aborsi (yang kemudian dihentikan pada masa George W Bush berkuasa).

Selain itu di dunia internasional pemerintah Amerika Serikat berhasil mensponsori dan mempengaruhi banyak negara di dunia untuk mendukung kebijakan yang condong ke kutub pro choise dalam konvensi-konvensi badan dunia PBB dalam hal kependudukan,
keluarga dan perempuan.


Kebijakan Aborsi di Indonesia

Indonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelegalan aborsi dalam konvensi-konvensi badan dunia PBB, satu kubu dengan negara-negara muslim dunia ,sebagian negara Amerika Latin dan Vatikan.

Di Indonesia aborsi dianggap ilegal kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Oleh karena itulah praktek aborsi dapat dikenai pidana oleh negara. Fatwa lembaga keagamaan pun rata-rata mendukung kebijakan pemerintah tersebut , misalnya fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 tentang aborsi yang menyatakan bahwa aborsi dengan alasan medik diperbolehkan dan aborsi dengan alasan non medik diharamkan.

Akan tetapi bisakah Indonesia digolongkan dalam kubu pro live. Jawabnya bisa ya bisa tidak. Walaupun kebijakan pemerintah Indonesia dengan melarang parktek aborsi condong ke kubu pro live akan tetapi kebijakan lainnya justru mendorong terjadinya
praktek aborsi. Diantaranya larangan bagi siswa/i yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah untuk menikah. Kebijakan inilah yang mendorong terjadinya praktek aborsi, siswi yang hamil akan dikeluarkan dari sekolah dan dilarang untuk melanjutkan studynya, selain oleh karena tekanan orang tua, masyarakat dan lingku-ngan. Karena itulah aborsi menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk yang bisa diambil oleh seorang remaja yang hamil di luar nikah.


FAKTA ABORSI DI INDONESIA

Estimasi nasional menyatakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus aborsi di Indonesia. Ini artinya terdapat 43 kasus aborsi per 100 kelahiran hidup (menurut hasil sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15-49 tahun) atau 37 kasus aborsi per tahun per 1.000 perempuan usia 15-49 tahun (berdasarkan Crude Birth Rate (CBR) sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup) (Utomo, 2001).

Sebuah studi yang dilakukan di beberapa fasilitas kesehatan di Indonesia mengestimasikan 25-60% kejadian aborsi adalah aborsi disengaja (induced abortion) (WHO, 1998).

Sebuah penelitian yang dilakukan di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia ditemukan bahwa insiden aborsi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Setiap tahun lebih dari 2 juta kasus aborsi terjadi, lebih dari 1 juta kasus (53%) terjadi di perkotaan, di mana angka ini hanya mewakili 42% dari total keseluruhan. Hal ini dimungkinkan adanya kasus-kasus yang tidak terlaporkan karena sebaran penduduk lebih luas dan kurangnya akses terhadap pelayanan aborsi. Studi ini juga menemukan pola yang berbeda pada provider aborsi. Di daerah perkotaan, 73% kasus-kasus aborsi dilakukan oleh ahli kebidanan, bidan, rumah bersalin dan klinik keluarga berencana (KB), sedangkan dukun hanya menangani 15% kasus aborsi. Di daerah pedesaan, dukun mempunyai peran yang dominan dalam memberikan pelayanan aborsi, kasus yang ditangani mencapai 84%. Klien terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun baik di perkotaan (45,4%) maupun di pedesaan (51,5%). Dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk melakukan aborsi berbeda antara satu daerah dengan yang lain, ditemukan bahwa biaya tertinggi berkisar Rp350.000,- hingga 2 juta rupiah yang dilakukan di praktik dokter swasta. Di rumah sakit biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp200.000 hingga 1 juta rupiah, sedangkan pada bidan berkisar antara Rp8.000 hingga Rp750.000 (Utomo, 2001).

Sebuah penelitian yang menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 pada 1.563 perempuan usia subur dengan status menikah sebagai sampelnya, ditemukan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan paling banyak terjadi pada kelompok usia 15-19 tahun (50,9%). Sebanyak 11,9% di antaranya berupaya mengakhiri kehamilannya, baik dengan cara tradisional maupun medis. Upaya pengguguran dengan melakukan sendiri/famili 119 orang (ketidakberhasilan 97,5%), dukun 20 orang (ketidakberhasilan 95%), bidan 25 orang (ketidakberhasilan 88%), dan bantuan dokter sebanyak 23 orang. Cara pengguguran yang banyak digunakan adalah minum jamu atau ramuan (49,4%), pil (27,5%), pijat (8,9%), suntik (7,9%), sedot (3,5%) dan kuret (2,8%). Temuan ini sama polanya dengan studi sebelumnya yang dilakukan di Klinik Raden Saleh Jakarta tahun 1988-1991, di mana 61% responden melakukan upaya dengan minum jamu sebelum datang meminta pertolongan induksi haid. Proporsi kegagalan cara pengguguran berkisar antara 86-98%, kecuali upaya yang dilakukan dengan cara sedot dan kuret (tidak ada kegagalan) (Pradono, 2001).

Sebuah penelitian yang melihat karakteristik perempuan menikah yang mencari pelayanan aborsi di 3 klinik pada tahun 1996-1997 menunjukkan usia klien saat melakukan abortus terbesar adalah 31-35 tahun (29,7%), 21-25 tahun (19,4%) dan 17-20 tahun (6%). Ditemukan pada salah satu klinik, abortus dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 7 minggu (52%), 8-14 minggu sebanyak 46% dan 2% pada usia kehamilan 15-25 minggu. Permintaan abortus pada usia kehamilan diatas 15 minggu sebagian besar dilakukan pada perempuan usia 21-25 tahun (34%). Data mengenai jenis kontrasepsi yang dipakai sebelum dan sesudah abortus menunjukkan peningkatan jumlah pemakaian IUD dari 55% menjadi 68,5%, begitu juga dengan suntik dari 2,6% menjadi 8,0% (Herdayati, 1998 dalam Jender & Kesehatan, Januari-Februari 2001).

Jajak pendapat yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bekerja sama dengan Mitra Perempuan, Ford Foundation, Fenomena, Universitas Atmajaya dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia menunjukkan 83,5% responden laki-laki dan perempuan setuju jika keputusan secara medis dan psikologis mengenai aborsi ditentukan oleh dokter melalui proses konseling dengan pasien (n=600). Dari mereka yang setuju sebesar 85,11% adalah perempuan menikah (Jender & Kesehatan, 2001).

SOLUSI

Solusi untuk seorang wanita

Jika anda sedang memikirkan untuk melakukan aborsi, tenangkan pikiran anda. Aborsi bukanlah suatu solusi sama sekali. Aborsi akan membuahkan masalah-masalah baru yang bahkan lebih besar lagi bagi anda di dunia dan di akhirat.

Ada beberapa pihak yang dapat diminta bantuannya dalam hal menangani masalah aborsi ini, yaitu:

1. Keluarga dekat atau anggota keluarga lain.

2. Saudara-saudara seiman

3. Gereja-gereja, khususnya gereja Katolik

4. Organisasi-organisasi pelayanan Gereja

5. Orang-orang lain yang bersedia membantu secara pribadi

Pertama-tama, hubungi keluarga terlebih dahulu. Orang tua, kakak, om, tante atau saudara-saudara dekat lainnya. Minta bantuan mereka untuk mendampingi di saat-saat yang sukar ini. Jika keluarga tidak memungkinkan, hubungi orang-orang lain yang disebutkan di daftar diatas. Atau hubungi kami di Forum Diskusi


Solusi untuk Bayi

Apapun alasan anda, aborsi bukanlah jalan keluar. Setiap bayi yang dilahirkan, selalu dipersiapkan Tuhan segala sesuatunya untuk dia. Jika saat ini anda merasa tidak sanggup membiayai kehidupan dia, berdoalah agar Tuhan memberikan jalan keluar.
Jika anda benar-benar tidak menginginkan anak tersebut, carilah orang-orang dekat yang bersedia untuk menerimanya sebagai anak angkat. Tuhan menciptakan kita semua sama. Tuhan mau kita saling membantu, mengasihi dan menasehati. Mari kita bersama-sama menjaga kelangsungan ciptaanNya yang paling mulia – manusia.

D. Upaya yang dilakukan saat ini

Berbagai upaya telah dicoba untuk dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh
Forum Kesehatan Perempuan (FKP) yang terdiri dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), praktisi hukum, peneliti senior, pengurus/anggota organisasi profesi adalah dengan mengadakan pertemuan intens yang bertujuan akhir untuk mengamandemen Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 pasal 15. Sementara itu untuk mencapai tujuan akhir tersebut, upaya saat ini difokuskan untuk menyusun Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) tentang batasan pelayanan aborsi yang aman dengan memasukkan kriteria, yaitu antara lain:

1) usia kandungan dibawah 12 minggu

2) di rumah sakit yang ditunjuk

3) oleh dokter yang bersertifikat

4) konseling pra dan pasca aborsi

5) biaya yang terjangkau

Tujuan khususnya antara lain menghimpun dan menampung pendapat khalayak dari berbagai pihak tentang masalah aborsi, menentukan isi SK Menkes tentang pelayanan aborsi yang aman serta menyusun, menyepakati dan melakukan proses penerbitan SK tersebut.
Salah satu upaya FKP dalam menghimpun dan menampung pendapat khalayak dari berbagai pihak mengenai aborsi
dilakukan melalui jajak pendapat yang dilakukan sebanyak dua kali oleh instansi yang berbeda selama bulan Desember
2000. Jajak pendapat yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bekerja sama dengan Mitra Perempuan, Ford Foundation, Fenomena, Universitas Atmajaya dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia pada 600 responden yang ditelepon secara acak berdasarkan buku telepon di lima wilayah di DKI Jakarta, menunjukkan 83,5 persen responden perempuan dan laki-laki setuju jika keputusan secara medis dan psikologis mengenai aborsi ditentukan oleh dokter, melalui proses konseling dengan pasien. Sebesar 85,11 persen dari mereka yang setuju adalah perempuan yang menikah. Jajak pendapat lainnya yang dilakukan Population Council, Yayasan Mitra Inti dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia terhadap 159 responden menemukan sebesar 78 persen responden menyetujui perlunya mengurangi risiko penyebab kematian akibat aborsi yang tidak aman dan 85 persen menyetujui keputusan aborsi ditentukan bersama melalui proses konseling. Kemudian sebesar 55 persen menyatakan perlunya disediakan tempat aborsi yang resmi, aman dengan standar pelayanan berkualitas.

Penutup dan Analisa

Memang mencegah lebih baik daripada mengobati. Memberi pengetahuan mengenai beresikonya melakukan seks pra nikah atau sex bebas adalah salah satu metode paling tepat untuk menurunkan resiko kehamilan di luar nikah. Akan tetapi ketika nasi telah menjadi bubur apa tindakan kita.Apakah kita hanya terbatas pada menghukum dan menghakimi mereka saja.

Kesalahan mereka tidak bisa dilepaskan dari kesalahan kita juga, baik sebagai orang tua, pendidik maupun komponen masyarakat lainnya. Oleh karena itulah perlu dicarikan sebuah solusi yang tepat dalam menangani masalah ini.

Indonesia memang bukan seperti negara maju, dimana mereka sudah berpengalaman dalam menangani masalah-masalah seperti ini dengan melibatkan semua pihak, baik orang tua, para guru, teman-temannya di sekolah bahkan juga pemerintah. Sementara Indonesia yang merupakan negara yang bertransisi dari masyarakat tradisonalis ke masyarakat modern bahkan pra modern tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi persoalan ini. Sehingga aksi-aksi yang dilakukan pun lebih banyak merupakan aksi panik seperti halnya mengeluarkan siswi hamil tersebut.

Resiko meningkatnya perilaku seks pra nikah dan seks bebas tidak dapat dihindari akibat perkembangan budaya modern dan meningkatnya usia pasangan nikah. Tapi sangat disayangkan apabila pemerintah dan juga kalangan pendidik dan komponen masyarakat tidak memiliki sebuah konsep yang terarah dan jelas untuk menghadap fenomena sosial ini. Peningkatan usia nikah harusnya juga diikuti dengan pembekalan mengenai sex pada kalangan remaja sehingga mereka bisa mengendalikan diri dan menjauhi perilaku sex beresiko tersebut. Akan tetapi budaya sex tabu menempatkan kalangan remaja seperti anak kecil yang dipandang dan dianggap tidak perlu tau masalah sex.

Selain itu perlu ada jaminan, bila memang pemerintah mengambil kebijakan pro live seharusnya diikuti kebijakan-kebijakan lain yang sifatnya melindungi hak kalangan remaja bila mereka mengalami kehamilan di luar nikah , diantaranya hak untuk meneruskan pendidikan, hak untuk mendapatkan fasilitas perawatan medis dan psikis yang memadai serta jaminan perawatan terhadap bayi yang akan dilahirkannya.
Apabila jaminan-jaminan seperti ini tidak mampu disediakan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat maupun komponen masyarakat lainnya termasuk orang tua dan pendidik, maka kebijakan pelarangan aborsi menjadi kontra produktif bagi
remaja, dan pencegahan praktek aborsi ilegal oleh remaja menjadi sia-sia.

Referensi :

www.Rahima.or.id. Gender Kesrepro.info Artikel tanggal 2 Maret 2009. Halaman Depan, Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan.

www.ABORSI.org Artikel tanggal 2 Maret 2009

Berita Berkala Jender & Kesehatan. Aborsi: Sebuah Dilema di Indonesia. Edisi khusus Januari-Februari 2001. Jakarta: Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Jender, 2001.

Pradono, Julianty et al. Pengguguran yang Tidak Aman di Indonesia, SDKI 1997. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Volume 5 Edisi I- 2001. hal. 14-19.

Utomo, Budi et al. Incidence and Social-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia: A Community-Based Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Year 2000. Jakarta: Center for Health Research University of Indonesia, 2001.

World Health Organization. Unsafe Abortion: Global and Regional Estimates of Incidence of and Mortality due to Unsafe Abortion with a Listing of Available Country Data. Third Edition. Geneva: Division of Reproductive Health (Technical Support) WHO, 1998.

Safe Motherhood Newsletter. Unsafe Abortion – A Worldwide Problem. Issue 28, 2000 (1).

Gunawan, N. Peningkatan Keberdayaan Perempuan sebagai Upaya Mencegah Aborsi. Simposium Masalah Aborsi di Indonesia, Jakarta 1 April 2000.

Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR). Paket Pelatihan Klinik Asuhan Pasca-keguguran. Jakarta: AVSC International, 1999

Katjasungkana, N. Aborsi: Hukum dan Hak Perempuan. Simposium Masalah Aborsi di Indonesia, Jakarta 1 April 2000.

Sudraji Sumapraja. Aborsi: Akar Permasalahan dan IndikasiSimposium Masalah Aborsi di Indonesia, Jakarta 1 April 2000.

Wibisono Wijono. Dampak Kesehatan Aborsi tidak aman. Simposium Masalah Aborsi di Indonesia, Jakarta 1 April 2000.

Dixon, P. Source: http://www.postfun.com/pfp/blasphemy.html/18 Januari 2001

Berkow R., and J.H. Talbott (eds.). The Merck Manual of Diagnosis and Therapy 13th Edition. Rahway, N.J. Merck and Co., Inc., 1977.

Hull, T.H., S.W. Sarwono and N. Widyantoro. Induced Abortion in Indonesia. In Studies in Family Planning, 1993; 24(4): 241-251

Kompas. " Aborsi dan Hak Reproduksi Perempuan." 17 December 2000.

Coeytaux, Francine M., A.H. Leonard, and C.N. Bloomer. "Aborsi." In Kesehatan Wanita: Sebuah Perspektif Global (Original Edition: The Health of Women: A Global Perpective). Edited by Marge Koblinsky, J. Thimyan, J. Gay. Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 1997

Faisall, Muh., and S. Ahmad. Klien dan Dukun Aborsi: Studi Kasus Pertolongan Aborsi Secara Tradisional di Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tengah." Yogyakarta; Ford Foundation and Pusat Perngembangan Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1995.